Skip to main content

BOCAH-BOCAH PENJUAL KARTU

Tegal Alang, Ubud, Bali, 25 September 2012

    Hari itu saya dan Widya bersama Beli Kadek fullday jalan-jalan keliling Bali. Dari pagi sampai malam. Tujuan pertama kami adalah Goa Gajah dilanjutkan ke dareah Kintamani untuk makan siang. Perjalananku saat itu benar-benar menyenangkan. Karena sangat jarang sekali dapat liburan bersama dengan Widya, teman satu kantor.
    Pemberhentian kami selanjutnya adalah Tegal Alang. Tegal Alang adalah salah satu daerah persawahan di Bali. Keunikan darinya adalah terasering yang bertumpuk-tumpuk dan sama sekali tidak dibuat dengan bantuan mesin maupun ternak, seluruhnya murni buatan manusia. Bahkan untuk membajak sawahnyapun dengan menggunakan tenaga manusia.

Meski derita tak henti menerpa
Badai kehidupan yang datang menerjang
Ku takkan henti bertahan hingga nanti

Derita si kecil menyayat hati
Tangan yang lemah mencoba meraih
Mungkin suratan jadi orang pinggiran

Lihatlah dan bukalah mata hatimu
Melihatnya lemah terluka
Namun semangatnya takkan pernah pudar
Hingga Tuhan kan berikan jalan

Kala manusia tak lagi kuasa
Bagai sebutir debu yang tak berdaya
Lihatlah kini kita begitu rapuh

Lihatlah dan bukalah mata hatimu
Melihatnya lemah terluka
Namun semangatnya takkan pernah pudar
Hingga Tuhan kan berikan jalan

Ooo.. lihatlah dan bukalah mata hatimu
Melihatnya lemah terluka
Namun semangatnya takkan pernah pudar
Hingga Tuhan kan berikan jalan


    Suasana disana begitu tenang, sejuk, ada banyak turis-turis Jepang, serta warung-warung makan kecil di tiap-tiap sudut tebing. Tapi apa yang lebih menarik? Dari sekian banyak manusia berlalu-lalang disana, sibuk memotret, bercana, mengobrol, makan, berbelanja, ada beberapa anak-anak kecil. Mungkin paling besar sekitar kelas 6 SD

   
Kulitnya coklat-coklat sawo matang, berusaha menawarkan barang dagangan, kartu pos. Kalau dipikir, siapa juga yang mau beli kartu pos? Apa masih ada orang yang berkirim kartu pos? Padahal malam sebelumnya saya bersama Koko Henokh mengambil kartu pos gratisan di salah satu mall di daerah Legian.
    Apakah mereka berjualan setiap hari? Saat kutanya begitu, salah seorang dari mereka menjawab "Iya mbok, pulang sekolah." (iya kak, pulang sekolah). WOW, hebat sekali mereka, kecil-kecil sudah pintar dagang. Lihat saja, beberapa dari mereka ada yang masih memakai seragam.

    Sebetulnya sah-sah saja mereka berjualan, apalagi tujuan mereka membantu orang tua. Tapi jika dilihat lagi lebih dalam, benarkah orang tua mereka betul-betul membutuhkan tambahan pendapatan sampai harus menyuruh anak-anak itu utnuk berjualan?

    Jika iya, pemerataan pendapatan penduduk seperti yang dikatakan oleh pemerintah bahwa rakyat telah mengalami kenaikan taraf hidup sama saja bohong. Kenyataannya banyak orang tua yang masih menyuruh anak-anak mereka yang dibawah umur untuk bekerja.
    Padahal di daerah itu banyak sekali turs-turis Jepang yang notabenenya di negara mereka tidak ada anak-anak dibawah umur yang bekerja. Semua harus berkonsentrasi untuk belajar dan belajar. Jika melihat kondisi ini, siapakah yang seharusnya belajar? Orang dewasakah? Pelajaran kemanusiaan yang sampai kapanpun tak akan pernah ditemukan dalam bangku sekolah maupun kuliah.
    Anak-anak Tegal Alang, senyuman mereka dibalik panasnya suasana masih saja menebarkan permainan. Bagi mereka jualan seperti permainan monopolo yang bisa mengaduk dadu setelah gilirannya maju. Tapi bagi orang-orang yang benar-benar melihat, kehidupan mereka mungkin saja jauh dari pa yang dibayangkan. Siapakah yang seharusnya membantu? Kenyataannya pemerintahlah yang dibant dari para manusia kecil itu.

   Kehidupan mewah mereka tak lebih karena sokongan penjualan barang-barang kecil mereka, yang disetorkan melalui pajak. Merekalah yang menghidupi orang-orang besar, bukan orang besar yang menghidupi mereka.



Popular posts from this blog

Puput Photo Session

TAMADIPA "Taman Madya Ibu Pawiyatan" Yogyakarta

    Saya dulu adalah alumni dari TAMADIPA, angkatan tahun 2005 - 2008. Di Jogja TAMADIPA identik dengan julukan sebagai Sekolah Buangan. Memang status sekolahku swasta. Banyak pula anak-anak yang tak berese alias nakal. Bahkan ada pula yang menyebut sekolahku ini sebagai sarang penyamun. Ya, memang ada benarnya, tapi juga sangat salah.    Mereka hanya belum mengenal saja bahwa TAMADIPA adalah sekolah terbaik yang pernah ada. Dan aku cukup bangga bersekolah disana, walaupun statusnya swasta. Sebelum ada sekolah negri, TAMADIPA sudah ada, berdiri sebagai sekolah rakyat pertama, bayangkan, sudah dari jaman penjajahan Belanda. Sistem  asah, asih, asuh  serta  cipta, rasa, karsa yang ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara betul-betul tak akan dijumpai disekolah lain. Bahkan sampai saat ini.    TAMADIPA adalah sekolah yang memiliki sistem among "mengasuh", budi pekerti dan Ketaman Siswaan. Panggilan untuk guru-guru disinipun tidak menggunaka istilah Pak ataupun Ibu. Melain

ELEPHANT SAFARI